# Keutamaan Keridhaan Orang Tua #

بسم الله الرحمن الرحيم

Ikhwan & akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu Wa Ta’āla, kita lanjutkan hadits berikutnya:

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنهما: عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: “رِضَا اللَّهِ فِـيْ رِضَا الْوَالِدَيْـنِ، و سخط اللَّهِ فِـيْ سخط الْوَالِدَيْنِ (أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ)

Dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al ‘Āsh Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā: dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam beliau bersabda: “Ke-ridhā-an Allāh itu berada pada ke-ridhā-an kedua orang tua, dan kemarahan Allāh itu berada pada kemarahan kedua orang tua.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbān dan Al-Hākim)

Tidak diragukan bahwasanya agungnya hak kedua orangtua sangatlah besar dan Allāh Subhānahu Wa Ta’āla telah mengingatkan hal ini dalam banyak ayat dalam Al-Qurān.

Diantaranya:
· Luqmān ayat 14

أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Bersyukurlah (berterima-kasihlah) kepadaKU dan bersyukurlah kepada kedua orangtua engkau dan kepadaKU lah kalian akan kembali.”

Disini Allāh menggandengkan perintah untuk bersyukur kepada Allāh dengan perintah untuk bersyukur/berbakti/berterima kasih kepada kedua orangtua. Dan Allāh tutup ayat tersebut dengan mengatakan:

“Ingatlah, kalian akan dikembalikan kepadaKU”

Artinya kalian akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allāh Subhānahu Wa Ta’āla, apakah kalian sudah bersyukur kepada kedua orangtua atau tidak?

· Al-Isrā ayat 23

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ

“Dan Rabbmu telah menetapkan agar tidaklah beribadah kecuali hanya kepada Allāh Subhānahu Wa Ta’āla dan berbaktilah kepada kedua orangtua kalian.”

Dalam ayat ini, Allāh menggandengkan antara hak tauhid Allāh Subhānahu Wa Ta’āla dengan hak berbakti kepada kedua orangtua. Dan ini menunjukkan agungnya hak berbakti kepada kedua orangtua.

Dan barangsiapa yang mengerti bahasa arab, kalimat “إِحْسَانًا” adalah maf’ul muthlaq yang didatangkan untuk “penekanan”, seakan-akan taqdirnya (kalimat yang dimaksudkan)

“وَ أَحْسِنُ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا”

“Berbaktilah kepada kedua orangtua dengan sebakti-baktinya.”

Allāh tidak memerintahkan kita hanya sekedar berbakti sewajarnya, tidak. Tetapi Allāh menyuruh untuk berbakti sebakti-baktinya kepada kedua orangtua. Ini menunjukkan akan agungnya berbakti kepada kedua orangtua.

Oleh karenanya, barangsiapa yang tidak menggunakan kesempatan untuk berbakti kepada kedua orangtua maka dia adalah orang yang celaka.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abū Hurayrah, dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, beliau bersabda:

رغم أنف ثم رغم أنف ثم رغم أنف قيل من يا رسول الله قال من أدرك أبويه عند الكبر أحدهما أو كليهما فلم يدخل الجنة

“Celaka, celaka, dan celaka”. Dikatakan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, siapakah yang celaka?”. Nabi berkata, “Siapa yang menemui kedua orang tuanya di masa tua, salah satunya atau keduanya, lalu ia tidak masuk surga.”

Celaka dan celaka dan celaka orang yang mendapati kedua orangtuanya dimasa kedua orangtuanya dalam masa tua (jompo) salah satunya atau keduanya kemudian orang ini tidak bisa masuk surga.

Kenapa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan “celaka” ?

Karena berbakti kepada orangtua di masa mereka dalam kondisi jompo, ini kesempatan yang sangat besar, pintu surga telah terbuka selebar-lebarnya agar kita bisa masuk dengan berbakti kepada kedua orangtua terutama tatkala mereka berdua dalam kondisi lemah lagi sangat membutuhkan perhatian, kasih sayang & bantuan kita, lantas kita sia-siakan maka orang seperti ini adalah orang yang tercela, dia tidak menjadikan kesempatan ini untuk membuat dia masuk surga.

Dan hadits-hadits seperti ini sangatlah banyak.

Namun bagaimanapun, kita tidak boleh kita ta’at kepada orangtua dalam rangka bermaksiat kepada Allāh Subhānahu Wa Ta’āla. Kita hanya ta’at kepada kedua orangtua tatkala mereka berdua menyuruh kita kepada perkara yang ma’ruf.

Oleh karenanya Allāh ingatkan dalam Al-Qurān:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan jika keduanya menyuruhmu untuk berbuat syirik kepadaKU yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah engkau ta’ati keduanya, akan tetapi tetap pergaulilah mereka berdua dengan cara yang baik.” (Luqmān 15)

Artinya, ayat ini menunjukkan kewajiban berbakti kepada kedua orangtua bagaimanapun kondisi kedua orangtua.

Lihat dan perhatikan ayat ini.

Ayat ini menceritakan kedua orangtua sangat parah kondisinya, orangtua musyrik, bahkan tidak hanya musyrik tetapi orangtua menyuruh sang anak untuk berbuat syirik. Kedua orangtua bukan hanya sekedar peminum khamr, pembunuh atau pencuri, tetapi kedua orangtua diatas (melakukan) kesyirikan dan bahkan memaksa anaknya untuk melakukan kesyirikan.

Maka Allāh mengatakan sang anak tidak boleh ta’at kepada kedua orangtua, akan tetapi sang anak tetap wajib untuk tetap berbakti kepada kedua orangtuanya.

Saya sering ditanya:
“Ustadz, bagaimana jika orangtua saya ternyata menzhalimi saya…

“Ustadz, bagaimana jika ternyata orangtua saya dulu tidak menafkahi saya…

“Ustadz, bagaimana dengan ayah saya, sejak kecil saya dan ibu saya ditinggalkan…

“Apakah saya wajib untuk berbakti?”

Jawaban:
Wajib tetap berbakti bagaimanapun kondisi orangtua. Dia (orangtua) merupakan sebab engkau ada di dunia ini.  Seandainya kedua orangtuamu tidak ada atau salah satunya tidak ada maka engkau tidak akan muncul di atas muka bumi ini.
Maka bagaimanapun kondisi orangtua tetap wajib bagi engkau untuk berbakti kepadanya. Jangankan hanya sekedar orangtua tidak memberi nafkah, bahkan orangtua diatas kesyirikan wajib bagi kita untuk berbakti kepada orangtua.

Akan tetapi, perhatikan disini, jika orangtua menyuruh kepada kemaksiatan maka tidak boleh kita ta’ati. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

لاَ طاَعَة لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الخَالِقٍ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam rangka bemaksiat kepada Allāh Subhānahu Wa Ta’āla.”

(Shahih, HR Ahmad, at Thabrani, al Hakim dan yang lain dengan lafadz at Tabrani disahihkan oleh Syaikh al Albani; Lihat As-Shahihah No. 179).

Disini ada kaidah yang perlu kita perhatikan yaitu:

❶ Jika ternyata orangtua memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan maka tidak boleh kita ta’ati. Jangan kita hendak menyenangkan orangtua tetapi kita mendatangkan kemurkaan Allāh Subhānahu Wa Ta’āla.

❷ Orangtua menyuruh kita untuk meninggalkan suatu yang wajib (wajib bagi kita) maka tidak boleh juga ta’at kepada orangtua. Akan tetapi yang wajib kita ta’at adalah jika orangtua menyuruh kita kepada perkara-perkara yang mubah (diperbolehkan).

Bahkan sebagian ulama menyebutkan jika ada perkara ilmu agama yang wajib kita pelajari, misalnya:

• Seorang hendak melaksanakan ibadah haji dan tidak tahu bagaimana cara berhaji maka dia harus belajar ilmu tentang berhaji dan dia belajar dan tidak perlu izin orangtuanya.

• Dia tidak tahu cara shalat yang benar maka dia tetap belajar fiqh shalat dan tidak perlu izin kedua orangtuanya.

• Ingin menikah dan dia harus mengetahui ilmu tentang menikah maka dia pun belajar dan tidak perlu izin orangtuanya.

Kenapa? Karena itu fardhu ‘ain. Karena dia ingin menikah maka dia harus tahu fiqh-fiqh yang berkaitan dengan menikah, maka tidak perlu izin orangtuanya.

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu Wa Ta’āla,

Pertanyaan:
Bagaimana jika orangtuanya menyuruh dia untuk menceraikan istrinya?

Hal ini sering terjadi dan pernah ditanyakan kepada para ulama. Bahkan para ulama menjelaskan permasalahan ini secara khusus karena sering terjadi. Misalnya orangtua benci dengan istri kita kemudian ayah atau ibu kita menyuruh kita untuk menceraikan istri kita, maka apa yang harus kita lakukan?

Jawaban :
Bahwasanya menceraikan istri adalah perkara yang buruk dan dicintai oleh syaithan, maka jika ternyata kita disuruh menceraikan istri kita tanpa ada alasan yang syar’i, hanya sekedar mungkin ada persinggungan masalah antara istri dengan orangtua maka tidak boleh kita menuruti/menta’ati perkataan orangtua, baik ibu maupun ayah. Karena istri punya hak, kita telah menikahinya dan dia telah berkorban untuk kita. Kecuali kalau memang ada alasan yang syar’i.

Adapun kalau alasannya tidak syar’i dan hanya sekedar masalah duniawi atau masalah yang biasa timbul antara menantu dengan mertua maka tidak boleh bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya.

Pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad rahimahullāh: “Sesungguhnya ayahku memerintahkan aku untuk menceraikan istriku”.

Maka kata Imam Ahmad “Jangan engkau ceraikan istrimu”.

Maka orang ini berkata: “Bukankah ‘Umar bin Khaththab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu pernah memerintahkan putranya ‘Abdullāh bin ‘Umar untuk menceraikan istrinya?”.

Maka kata Imam Ahmad rahimahullāh: “Kalau ayahmu sudah seperti ‘Umar bin Khaththab lalu memerintahkanmu untuk menceraikan istrimu, maka lakukanlah.”

Artinya ini fiqh yang dalam dari Imam Ahmad.

Tatkala ‘Umar bin Khaththab menyuruh ‘Abdullah Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya tentunya bukan sembarangan, karena ‘Umar bin Khaththab adalah seorang yang bertaqwa dan mengetahui tentang masalah fiqh cerai.

Demikianlah, ingatlah betapa agungnya berbakti kepada kedua orangtua. Jika anda menjadikan orangtua ridhā berarti anda telah mendatangkan keridhāan Allāh kepada anda. Namun jika anda menjadikan orangtua murka maka sesungguhnya anda telah mendatangkan kemurkaan Allāh bagi anda sendiri.

والله تعالى أعلم بالصواب

Dari Kitābul Jāmi’ | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
Hadits ke-4 | Keutamaan Keridhaan Orang Tua | Ustadz Firanda Andirja, MA